RUANG NOSTALGIA

Posted by Unknown Monday, May 19, 2014 0 komentar
“Luka saya sangat sederhana. Saya hanya terluka karena kamu pergi; itu saja.” - (fa)

Pulang dari sampang, di dalam bis saya teringat foto kamu dengan dia, entah kenapa. Padahal telah lama hari itu terlewati. Dan saya pun telah lama memutuskan berhenti menjadikannya bagian dari “daftar hal yang perlu diingat”.

Dulu, foto itu berhasil membuat saya begitu sedih. Bukan, bukan karena dia ada di dalam foto itu, tapi karena kamu yang berdiri lekat di sisinya. Padahal, saat itu saya adalah perempuan yang begitu perlu dipeluk. Alih-alih menemani saya, kamu justru pergi bersamanya.

Bukan, bukan karena kamu pergi bersamanya saya sedih. Bersama siapa pun itu tak jadi masalah, saya tak peduli—karena saya percaya penuh padamu. Bahwa kamu bukanlah pria yang pandai berpindah dari satu pijakan hati, ke hati lainnya dengan begitu mudah. Bahwa kamu adalah pria yang bisa saya andalkan. Ya, saya menghargaimu dengan begitu besar, saat itu.


Hal yang paling sedih adalah ketika... kamu pergi; itu saja.

Karena seharusnya, saat itu kamu bisa memilih tinggal dan menjadi tak perlu kehilangan saya di hari ini.
Hati saya berkali-kali bilang; saya selalu berusaha ada untukmu. Seberapa pun berat hari yang harus saya lalui, seberapa pun saya harus membagi perhatian atas mengurus ibu saya yang tengah sakit—dan mencoba memahamimu. Karena mungkin saya memang tengah sangat menyayangimu.
Di luar hujan dan ada air terjun di kaca jendela bus. Pendingin di dalam bus ini bahkan mampu membuat buku-buku jari saya membiru. Saya harap kamu selalu hangat terjaga di sana, hingga tak perlu membuat sedih siapa pun yang tengah menyayangimu di sini.


Saya menemukan catatan itu di mini diary ponsel saya—ketika saya bahkan telah lupa pernah menulisnya. Kenyataannya, saya memang benar-benar pernah menulisnya di suatu hari di masa lalu. Untuk seseorang yang pernah saya sayangi—dan pernah saya paksakan untuk tidak lagi saya sayangi lebih dari rasa sayang kepada seorang teman. Saya pernah menangisinya, karena memaksakan diri saya untuk berhenti menyapanya dalam kurun waktu yang ketika itu tidak bisa saya pastikan sampai kapan. Mungkin karena saya merasa begitu marah. Bukan, bukan padanya. Saya begitu marah pada diri saya sendiri saat itu.
Perempuan ini, hanya tengah menghukum dirinya sendiri. 

Saya selalu saja patah hati dengan cara saya sendiri. Saya memang tidak pernah mampu merengek atau mengumpat, atau bahkan berlagak membenci orang yang tengah saya sayangi. Saya pun tidak akan pernah membiarkan diri saya tampak begitu lemah dan kasihan. Hey, hidup saya sudah kurang kasihan apa lagi saat itu—saya tidak akan membiarkan siapa pun semakin kasihan, mendekati saya karena kasihan, atau bahkan mencintai saya karena kasihan. Saya sudah cukup menghasihani diri saya sendiri, dan saya tidak membutuhkan perasaan itu datang dari manusia lain. Harga diri dan gengsi saya yang begitu tinggi, membuat saya lebih suka diam dan bersabar.

Saya berusaha memberi diri saya sendiri waktu untuk sembuh, dibanding saya harus meluap-luapkan perasaan saya tak keruan di social media, atau bahkan di telinga sahabat saya sendiri. Saya masih punya Tuhan, dan saya tahu Dia sanggup menerima keluhan apa pun dari saya, setidaknya 5 waktu dalam sehari. Persoalan saya saat itu hanyalah; saya terlalu menyayanginya, dan saya hanya harus berhenti ‘terlalu’ menyayanginya. Walau kenyataannya hal itu bukanlah sekedar sebuah ‘hanya’.

Dan kecewa padanya, bukan berarti lantas saya harus menghapusnya dari hidup saya. Saya tidak se-kanak-kanakan itu. Tidak ada manusia yang dengan kesalahannya pantas untuk dihapus dari hidup seseorang. Itu namanya, lari dari kenyataan. Saya hanya harus; mengubah porsi rasa sayang saya padanya. Dari kadar ‘sangat’ menjadi kadar ‘cukup’. Dan jelas saja itu bukanlah hal yang sederhana. Hidup saya saat itu sangat melelahkan. Saya menangis dua kali lipat. Ah, banyak sekali hal yang saya tangisi saat itu. Masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah perasaan. And no one who cares, karena memang saya tidak mengijinkan siapa pun untuk peduli pada saya. Saya hanya terlalu marah pada diri saya sendiri. 

Sangat. Amat. Marah. 

Saya bahkan tertawa detik ini. Lucu sekali saya saat itu. :))
***
Saya bukanlah tipikal perempuan pembenci, tapi saya adalah perempuan yang tidak bisa lupa bila pernah dilupakanatau diabaikan oleh seseorang. Saya merasa bodoh dan sangat tolol. Saya pun merasa sangat bersalah pada ibu saya. Karena saat itu, seharusnya saya tidak perlu menyayangi siapa pun, dan membuat perhatian saya padanya terpecah belah. Padahal itu adalah detik-detik terakhir kebersamaan kami, dan itu akan menjadi penyesalan seumur hidup bagi saya. Karena setiap kali mengingatnya, saya bahkan tidak bisa memaafkan diri saya sendiri. Sampai detik ini, rasanya bahkan masih sama pedih. Saya punya begitu banyak rasa bersalah kepada ibu saya. Saya bukanlah anak perempuan yang baik untuknya. 

Karena saya hanyalah perempuan yang ceroboh, tolol dan sok tegar.
Ceroboh, tolol dan sok tegar.
Itulah saya.
***

Faith. You can’t touch it or buy it or wrap it up tight, but it’s there just the same, making things turn out right. –Rufus (The Rescuers)

Tapi hey, segalanya saat ini hanyalah berlabel kemarin. Tanpa embel-embel kecewa atau sakit hati. Segalanya hanyalah kemarin dan mengingatnya tidak lagi sesakit dahulu. Saya menyadari betul bahwa segala hal yang terjadi adalah tanggung jawab saya sepenuhnya. Kalau pun ada yang harus saya salahkan, itu adalah diri saya sendiri. Kalau saya sempat merasa kesal, marah atau sakit hati, itu adalah bagian Allah untuk dapat memperhitungkannya dengan keadilan-Nya sendiri. Membalas, atau hitung menghitung bukanlah kapasitas saya. 

Saya hanya tahu, segala yang terjadi pasti memberi begitu banyak pelajaran. Entah bagian yang bahagia, entah bagian yang menyakitkannya. Entah yang pergi meninggalkan, entah yang memilih berhenti menyayangi. Entah yang dilukai, entah yang tak sengaja melukai. Saya rasa, tidak ada manusia yang begitu saja sengaja melukai perasaan orang lain. Terkadang, kita melakukan hal-hal yang ada di luar kendali kita. Karena memang kita tidak bisa mengendalikan bagaimana hati seseorang akan merasa atas apa yang kita lakukan padanya. Saya mungkin sudah begitu banyak menyakiti perasaan pria lain dengan tingkah saya yang rumit dan gengsian. Saya pun mungkin sudah begitu banyak menyakiti perasaan pria lain dengan memilih diam dan pergi—tanpa berdaya meminta penjelasan padanya. Atau sekedar melontarkan pertanyaan seperti;

Kenapa kamu melakukan itu?
Kenapa kamu meninggalkan saya saat itu?
Atau kenapa kamu, harus membuat saya menyayangimu- lalu pergi?

Saya adalah perempuan yang merasa, bahwa pria seharusnya menyadari diri, bahwa mereka perlu memberi penjelasan tanpa harus membuat perempuan merengek. 

Walau pun seharusnya. Segala pertanyaan itu tetap harus saya ajukan, agar saya tidak lantas mereka-reka sendiri jawabannya. Jawaban yang tentu saja belum tentu benar. Saya hanya berpikir, saya tidak lah pantas membebani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena apa pun jawaban yang mereka lontarkan, pada kenyataannyasaya-lah yang sudah terlalu lelah untuk mendengarnya. 

Mungkin bagian menyakitkan lain hanyalah ketika saya sudah berusaha mencoba menyayangi dan memahaminya di tengah keterbatasan saya saat itu, tapi saya tetap dianggap tidaklah cukup berusaha. *tersenyum kecut* memikirkan ini, selalu membuat perasaan saya muram. Seandainya saja, seandainya saja saya bisa menggambarkan seberapa hancur perasaan saya saat harus jadi seorang Fa di detik itu. Saya, saya  hanyalah tidak pernah punya kemampuan untuk menunjukkan luka saya sendiri. Saya takut Tuhan berpikir, saya tidak cukup bersyukur atas apa yang saya miliki saat itu, dan Dia pun mengambil kebahagiaan-kebahagiaan lain yang tersisa yang masih saya miliki.

Saya baik-baik saja, ini hanya luka kecil dibanding segala yang sampai saat ini masih terjadi dalam hidup saya.
Lagi pula, hidup siapa yang bisa lepas dari rasa takut kehilangan dan kecewa? Kita pasti akan pergi, atau siapa pun yang ada dalam hidup kita pun suatu hari akan pergi.
Saya hanya tahu, bahwa segala yang harus pergi hanyalah untuk memberi ruang bagi kedatangan yang lebih baik. 

Tidak apa-apa. Saya saat ini sehat dan sedang bahagia dengan hidup yang saya jalani. Dengan hati-hati yang mengelilingi saya, walau pun saya belum siap untuk menyayangi seseorang, sebanyak saya menyayangi kamu dulu. :)

Terimakasih untuk kamu, suatu hari di masa lalu saya.


-FROM FALAFU-
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: RUANG NOSTALGIA
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://suminisutikno.blogspot.com/2014/05/ruang-nostalgia.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Post a Comment

Template by Berita Update - Trik SEO Terbaru. Original design by Bamz | Copyright of HARUKI MURAKAMI.